Thursday, December 1, 2011

"Mau Menghindar?" Maaf, Kau Salah Bertanya

Kepentingan. Setiap orang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Namun, ada kalanya hal tersebut bisa dijadikan sebuah faktor yang menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Toleransi? Mungkin bisa saja begitu. Mengintegralkan kepentingan pribadi menjadi kepentingan bersama dengan sebuah toleransi akan menjadi lebih etis ketimbang bersi keras tiada ujung untuk memperjuangkan hal yang tidak akan ada habisnya.

Menyatukan banyak isi kepala memang bukanlah hal yang gampang. Tetapi bukan berarti tidak mungkin bukan? Prosesnya memang melelahkan dan panjang. Apalagi apabila setiap isi kepala merasa paling benar dan merasa orientasi yang digunakannya berada pada derajat yang paling tinggi dari yang lain. Capek. Ya, memang itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan situasi ini. Setiap isi kepala menyiapkan kuda-kudanya masing-masing, mengukir segala rupa tameng-tamengnya, mengisi wadah anak panahnya dengan kayu-kayu rotan yang terasah tajam berjaga-jaga siapa tahu ada yang lebih dulu menyerang tanpa ba-bi-bu. Berada pada situasi perang dingin yang berkepanjangan. 

Belum lagi isi kepala yang pintar memanfaatkan situasi. Menggunakan keadaan ini sebagai batu loncatan untuk mencapai undakannya dan melihat silaunya cakrawala yang terbentang. Terlihat indah memang, tetapi sangat menjijikkan apabila dilihat dari kacamata seorang sufi. Oke, janganlah sufi yang dijadikan patokannya, bahkan isi kepala –orang biasa– lainpun mungkin akan berpikir demikian. 

Nurani mungkin boleh bersedih, bahkan boleh menangis. Atau lebih ekstremnya lagi meronta-ronta lalu bunuh diri. Nurani mungkin boleh tertawa sinis, bahkan boleh mencerca. Atau lebih ekstremnya memaki lalu meludahi dirinya sendiri. Sudah semakin dilupakannya ia dan dijauhinya ia. Tak dipandang lagi sebagai kebenaran yang hakiki dari sebuah pemikiran. Tak dipandang lagi sebagai tolok ukur perbuatan yang senantiasa menjaga prilaku pemiliknya. Miris memang. Tapi ini kenyataaan, ini ada. 

“Mau menghindar?” Salah, salah pertanyaanku bukan itu. Bahkan kita pun tidak memiliki waktu untuk menghindar. Terkondisi. Mungkin kata itu yang paling tepat. Pertanyaannya sekarang adalah, “Mau membenahi?”. Serempak akan menjawab, “Ya! Mau!”. Tapi apakah cukup? Memang semua ini bukan hanya bicara tentang isi kepala, kepentingan, kekuasaan, bahkan keserakahan. Banyak hal-hal di luar sana yang mungkin tidak sempat tersebut di barisan kata ini. Namun, satu hal intinya adalah perlu usaha yang nyata untuk membuat keadaan ini kembali berwibawa, kembali beretika, kembali bernurani. Seperti yang telah kukatakan sudah-sudah. “TIDAK GAMPANG MEMANG, TAPI BUKAN BERARTI TIDAK MUNGKIN.”


-mayang alfina-

No comments:

Post a Comment