Kepentingan. Setiap orang memiliki kepentingan yang
berbeda-beda. Namun, ada kalanya hal tersebut bisa dijadikan sebuah faktor yang
menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Toleransi? Mungkin bisa saja
begitu. Mengintegralkan kepentingan pribadi menjadi kepentingan bersama dengan
sebuah toleransi akan menjadi lebih etis ketimbang bersi keras tiada ujung
untuk memperjuangkan hal yang tidak akan ada habisnya.
Menyatukan banyak isi kepala memang bukanlah hal yang
gampang. Tetapi bukan berarti tidak mungkin bukan? Prosesnya memang melelahkan
dan panjang. Apalagi apabila setiap isi kepala merasa paling benar dan merasa
orientasi yang digunakannya berada pada derajat yang paling tinggi dari yang
lain. Capek. Ya, memang itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan situasi
ini. Setiap isi kepala menyiapkan kuda-kudanya masing-masing, mengukir segala
rupa tameng-tamengnya, mengisi wadah anak panahnya dengan kayu-kayu rotan
yang terasah tajam berjaga-jaga siapa tahu ada yang lebih dulu menyerang tanpa
ba-bi-bu. Berada pada situasi perang dingin yang berkepanjangan.
Belum lagi isi kepala yang pintar memanfaatkan situasi. Menggunakan
keadaan ini sebagai batu loncatan untuk mencapai undakannya dan melihat
silaunya cakrawala yang terbentang. Terlihat indah memang, tetapi sangat
menjijikkan apabila dilihat dari kacamata seorang sufi. Oke, janganlah sufi
yang dijadikan patokannya, bahkan isi kepala –orang biasa– lainpun mungkin akan
berpikir demikian.
Nurani mungkin boleh bersedih, bahkan boleh menangis. Atau lebih
ekstremnya lagi meronta-ronta lalu bunuh diri. Nurani mungkin boleh tertawa
sinis, bahkan boleh mencerca. Atau lebih ekstremnya memaki lalu meludahi
dirinya sendiri. Sudah semakin dilupakannya ia dan dijauhinya ia. Tak dipandang
lagi sebagai kebenaran yang hakiki dari sebuah pemikiran. Tak dipandang lagi
sebagai tolok ukur perbuatan yang senantiasa menjaga prilaku pemiliknya. Miris memang.
Tapi ini kenyataaan, ini ada.
“Mau menghindar?” Salah, salah pertanyaanku bukan itu. Bahkan
kita pun tidak memiliki waktu untuk menghindar. Terkondisi. Mungkin kata itu
yang paling tepat. Pertanyaannya sekarang adalah, “Mau membenahi?”. Serempak akan
menjawab, “Ya! Mau!”. Tapi apakah cukup? Memang semua ini bukan hanya bicara
tentang isi kepala, kepentingan, kekuasaan, bahkan keserakahan. Banyak hal-hal
di luar sana yang mungkin tidak sempat tersebut di barisan kata ini. Namun,
satu hal intinya adalah perlu usaha yang nyata untuk membuat keadaan ini
kembali berwibawa, kembali beretika, kembali bernurani. Seperti yang telah
kukatakan sudah-sudah. “TIDAK GAMPANG MEMANG, TAPI BUKAN BERARTI TIDAK MUNGKIN.”
-mayang alfina-
No comments:
Post a Comment