Friday, November 14, 2014

Memahami...

Belajar memahami memang bukan hal yang mudah. Apalagi yang dipahami adalah hal yang memang sulit dipahami. Ngemeng apa deh may? Ya pokoknya gitu lah ya. Butuh proses untuk melewati segala fase kehidupan yang kita lewati. Bahkan mungkin kita baru akan paham setelah beberapa waktu lamanya. Itulah hikmah yang kita (akhirnya) dapati.

Makanya di tengah-tengah proses itu terkadang akan muncul berbagai macam bentuk denial atau penyangkalan atas apa yang terjadi pada hidup kita. Entah itu penyangkalan yang sifatnya bodo amat sampai yang bentuknya bakalan dipikirin sampai otak rasanya ngebul berasep. Macem-macem. Kondisi sekitar juga terkadang mempengaruhi. Kita makhluk sosial bukan? berinteraksi dengan banyak orang tentunya. Nah ini nih yang bakalan membentuk pola pikir kita tadi. Akan semakin paham kah? Atau justru makin ribet?

Pada akhirnya memang pada beberapa kasus tentang memahami sesuatu (masalah apapun) ini akan melewati proses yang ribet ngejelimet kremet-kremet (?). Ya walaupun nggak semuanya, tapi sebagian memang begitu adanya. Nggak percaya? Pernah denger kalau hidup itu memang sudah masalah? Eits, jangan protes dulu. Di sini saya bukan mau bilang kalau hidup itu jadi ga enak karena sudah dari awalnya masalah. Masalah di sini maksudnya adalah tentang hal-hal yang harus kita lalui dalam hidup. Masalah tidak selalu berarti negatif bagi saya. Bisa jadi hal itu justru sangat positif.

Sebagai contoh; waktu kita mau lahir (belum lahir nih loh ya) ibu kita mengalami "masalah" pada perutnya. Iya, kontraksi gitu kan ya kalau mau melahirkan. Coba, kalau ga ada "masalah" kontraksi ini, kita nggak mungkin bakal lahir ke dunia. Setelah kita lahir ada lagi nih "masalah". Orang tua kita pasti memikirkan kehidupan jangka panjang kita. Mulai dari makanan, pakaian, pendidikan, sampai urusan kesehatan. Dengan adanya masalah ini orang tua kita mencari nafkah dengan lebih giat untuk menghidupi kita. Jadi, sebenarnya masalah itu positif kan? Sekarang setuju kan? Yang nggak setuju ya aku ora opo-opo.

Nah, balik lagi tentang memahami suatu hal yang terjadi dalam hidup kita. Fase memahami ini juga sebenarnya salah satu bentuk dari "masalah". Dengan adanya fase yang berbentuk "masalah" ini, tentunya akan membuat kita lebih bijak lagi dalam memaknanai hidup. Seperti kutipan yang pernah saya baca pada sebuah buku berjudul Halaqah Cinta hlm.180 ini:

"Setiap kesulitan selalu datang bersama kemudahan. Setiap masalah selalu memiliki jalan keluar. Inilah keseimbangan karunia Allah. Kita tidak selalu dihindarkan dari maslah. Tidak pula selalu dijauhkan dari persoalan. Kalau seperti itu, bagaimana kita belajar untuk bersabar dan bersyukur, berpengalaman menghadapi masalah, dan memiliki ketangguhan untuk menyelesaikannya? Inilah salah satu karunia terbesar Allah untuk kita"
Jadi, proses memahami sesuatu, yang bisa jadi berwujudkan "masalah" bukanlah hal yang harus dihindari. Sapa ia, kenali ia, dan rangkul ia. Prosesnya tidak mudah memang, tapi yakin kita bisa melewatinya. Tenang kawan, akan ada pelangi setelah hujan :)

Friday, November 7, 2014

Senja di Tepian Sungai

Mereka berada dalam satu potongan kisah, senja itu. Entahlah, salah satu dari mereka hanya yakin keadaannya begitu. Atau malah keduanya?

#

Hiruk-pikuk keramaian di tepian sungai terlebar di pulau itu begitu meronakan wajah siapa saja yang melihatnya. Paduan sang lembayung jingga dan gemulai riak air sungai senja itu sungguh sebuah harmoni sempurna. Di sepanjang alur sungai sore itu, tawa, canda, dan aroma kebahagian tumpah ruah dalam satu waktu. Tampaknya memang sedang ada sebuah perayaan di sana. Benar saja, ternyata sedang diselenggarakan sebuah festival budaya.

#

Pandangannya antusias melihat keramaian yang ada. Dari dalam mobil yang ia tumpangi, kepalanya sedikit mendongak ke arah luar dari balik kaca yang terbuka. Penasaran. Tidak biasanya tepian sungai itu begitu ramai dan penuh sesak. Ditambah lagi kondisi lalu lintas senja itu sedang tidak bersahabat. Padat. Tersendat. Namun, ia tetap menikmatinya. Ia tahu bagaimana cara mengusir kegusarannya akan kondisi jalan senja itu. Mengamati setiap cuplikan episode kegiatan di hadapannya. Menarik. Begitu pikirnya.

Senja semakin ke ufuk barat. Tak dipikirkan lagi kekhawatirannya akan tumpangan mobil yang akan ia naiki selanjutnya karena harus menuju ke kota seberang. Ia tetap memandang ke arah tepian sungai senja itu. Hanya sebentar saja, pikirnya. Keramaian yang tercipta benar-benar membuatnya seperti terhipnotis. Seperti ada sesuatu yang membuatnya ingin tetap memandang lekat hiruk-pikuk di tepian sungai senja itu. Hingar-bingar, memesona.

#

Pandangannya antusias melihat keramaian yang ada. Dari balik pagar pembatas antara pinggiran sungai dan jalan raya di sampingnya ia siap mengabadikan momen senja itu. Lensa kamera profesional yang dibawanya sedari tadi sibuk mencari fokus yang pas untuk dibidik. Di tengah keasyikannya, tak sengaja kakinya tersenggol oleh balita mungil yang sedang belajar berjalan. Fokusnya buyar. Namun, ia hanya tersenyum sambil menoleh ke arah balita yang mulai berjalan menjauh darinya ke arah tepian jalan raya. Tak pelak ibu balita itu ikut berlari mengejar balitanya. Klik. Satu frame tersimpan. Tetapi pandangannya terhenti. Ia memandang ke arah jalan raya. Entahlah, ia hanya ingin menatap jalan raya yang tepat berada di sampingnya itu sejenak saja.

Setelah puas memandangi ke arah jalan raya, kini fokusnya kembali ke tepian sungai yang hari itu lebih ramai dari biasanya. Festival budaya hari itu terlihat berbeda. Menarik. Beberapa pelayar berpacu menggunakan perahu motornya. Warna-warni dekorasi perahu berkibar mengikuti arah angin dan menambah semaraknya pacuan perahu motor. Tak mau kalah, matahari senja kala itu memancarkan cahayanya yang paling hangat meneduhkan. Memantul indah sempurna di riak-riak air sungai yang dihasilkan oleh pacuan perahu motor. Momen ini tidak ia lewatkan. Segera ia fokuskan bidikan dari lensa kameranya. Dan sekali lagi, Klik! Matahari senja berhasil ia rengkuh hanya dalam sekali bidik. Cantik. Berpendar jingga, meneduhkan.


***

____________________________________________________

Selamat malam purnama, kami melihatmu. Dari jauh. Berjauhan.

Wednesday, November 5, 2014

Kampung Halaman

Mata sebenernya udah kriyep-kriyep minta diistirahatin, tapi pikiran masih mubeng-mubeng ngajak muter sana-sini. Jadinya supaya jadi melek yang produktip, saya ngoceh bermanfaat aja di sini (semoga) hehehe.

Jadi pengen nanya, pernah nggak sih kepikir kapan kita akan 'kembali'. Iya, kembali ke kampung halaman kita yang sebenarnya. Kampung halaman di mana kita berasal sebelum jadi apa-apa. Tempat nabi pertama kita (Adam as.) diciptakan. Suatu saat pasti waktu itu akan tiba. Tapi yang sudah jadi rahasia umum adalah kita tidak akan pernah tau kapan waktu itu akan datang. Rahasia besar. Hanya Ia yang tau dan berhak tau.

Manusia memiliki jalan hidupnya masing-masing. Sudah tertulis tentunya di Lauhl Mahfudz. Tidak perlu ragu apalagi bimbang. Terkadang kita masih suka bertanya di setiap episode kehidupan kita. Kenapa itu begini? Kenapa ini begitu? dan banyak jenis pertanyaan kenapa lainnya. Padahal kalau kita mau berpikir sejenak, hal tersebut sungguhlah perkara sederhana. Tidak berbelit-belit. Takdir kita sudah ditentukan sebelum kita diciptakan, tinggal gimana usaha dan doa kita yang melengkapinya. Karena doa dan takdir itu 'berperang' setiap waktu. Takdir buruk mungkin saja berubah baik di saat doa-doa kita (atau doa orang lain untuk kita) diijabah oleh-Nya. Atau malah sebaliknya. Dan sekali lagi yang perlu diingat adalah semua episode-episode itu sudah diketahui oleh-Nya. Tercatat rapi, tidak tertukar.

Sayangnya tidak semua orang berpikir demikian, pun terkadang saya saat sedang khilaf atau dalam keadaan ruhiyah lagi di dasar goa. Masih suka muncul pertanyaaan jenis 'kenapa' tadi di benak saya. Padahal kalau diingat-ingat lagi bentuk pertanyaan jenis 'kenapa' ini adalah gejala awal bentuk belum bersyukurnya kita terhadap apa yang Allah berikan seutuhnya kepada kita. Kalau dipikir-pikir lagi nih (musti banyak mikir hehe) apa sih yang nggak Allah kasih ke kita? Kurang lengkap apa lagi coba? Tapi ya kok kita manusia gini amat ya sifatnya :( suka kufur nikmat dan lupa bersyukur (istighfar banyak-banyak). Padahal Allah sudah begitu baik (teramat baik) dengan menutupi segala jenis aib kita dari orang lain sehingga kita terlihat seperti apa yang orang lain lihat. Bersyukur may, bersyukur... (astagfirullah)

Sebenernya ocehan saya ini lebih untuk mengingatkan untuk diri saya sendiri. Masih banyak kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang sering lakukan. Padahal tabungan amal saya belum tentu surplus, eeehhh malah sering dibikin defisit. Semoga Engkau mengampuniku ya Rabb :'''''( dan ampuni pula dosa kedua orang tua saya, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi saya di waktu kecil.

Salah satu guru saya pernah berkata di dalam sebuah kajian, "seseorang itu dilihat dari bagian akhirnya". Semoga kita semua mendapatkan akhir yang baik, khusnul khotimah. Sebaik-sebaiknya keadaan untuk kembali ke kampung halaman. Allahu a'lam bisshowab.

#note to my self#