Jakarta, ya Jakarta.
Kutapakkan kedua kaki ini 2 tahun yang lalu
di kota yang kata orang pusat dari sebuah negara yang bernama Indonesia. Kota yang
kata orang metropolitan. Kota yang kata orang memberikan segenggam berlian untuk
di bawa pulang. Kota dengan segala kesibukannya tak pernah rela untuk
dilepaskan. Hayatnya bergerak seiringan dengan degup jantung setiap warganya.
24 jam, 1.440 menit , 86.400 detik. Terus berputar tanpa henti. Bahkan partikel
terkecil pun enggan untuk hanya sekedar singgah di legamnya aspal jalan protokol
yang membelah kota seribu warna ini.
Dinamis bukan statis, tetapi penuh dengan
irama. Yang terkadang tetap pada barnya yang tepat namun tak jarang berpindah
dari bar yang seharusnya dan membuat sebuah variasi nada yang unik. Bahkan mungkin
tidak dimiliki oleh kota lainnya. Yah, inilah Jakarta dengan segala tetek
bengeknya. Dengan segela manis dan pahitnya hidup. Dengan segala ramah budaya
betawinya dan keangkuhan beton-beton pencakar langitnya. Begitu heterogen.
sumber |
sumber |
Bukan sebuah kebetulan aku berada di kota ini. Mimpi? Ya , bisa dikatakan demikian. Secara tidak sadar hal itu sudah aku ucapkan 8 tahun yang lalu dan aku baru menyadarinya sekarang bahwa hal tersebut adalah sebuah mimpi si mayang kecil. Mimpi seorang anak sd yang baru akan menginjakkan kaki ke bangku smp. Aku ingat, dulu aku pernah bermimpi untuk berkuliah di kota Jakarta atau bandung. Aku tidak tahu apa dasarnya mengatakan hal itu, tapi itu yang terpikir di benakku. Jakarta dan Bandung. Pada akhirnya aku pun setelah lulus sma memutuskan untuk melakukan tes masuk universitas hanya di kedua kota tersebut. Dan kini, aku berada di sini, mengikuti irama kota ini, bernafas bersama kota ini, dan berdiri di bawah langit kota ini. Aaah..langit, kalau ingat langit, langit Kalimantan memang tiada duanya. Apalagi langit kota kelahiranku, Bontang, di kala malam menjelang subuh. Keeksotisan pekatnya malam dan hiasan jutaan kristal Swarovski tidak ada tandingannya. Terlebih apabila disandingkan dengan langit Jakarta. Namun aku yakin, di tempat aku berdiri sekarang, di bawah langit kelabu Jakarta, akan tetap ada segenggam bahkan berjuta harapan dan mimpiku yang lain. Walau yang menemani bukan genitnya langit Kalimantan di kala malam, tetapi asaku tetap sama bahkan akan terus bertambah seiring dengan cepatnya ritme degupan jantung Jakarta.
Ingatkah pada sebuah kalimat yang mengatakan,
Tuhan mendengar dan akan mengabulkan pinta dan doamu. Namun, Tuhanlah yang
lebih tau kapan doa dan pintamu itu pantas untuk kau miliki. Indah pada
waktunya. Maka, bermimpilah. Mintalah padaNya. Karena Ia sesungguhnya sangat
menyenangi hamba yang berdoa dan meminta padaNya. Selain itu, aku yakin ..
Tuhan bersama prasangka hambaNya. Maka berprasangka baiklah.
Jakarta,
Aku kini berada di dekapmu. Dekapmu yang kaku
dan dingin. Tunggu, tunggu aku. Oh tidak, jangan tunggu aku. Aku tidak akan
menunggu karena aku akan berjuang membuat dekapmu menjadi lembut dan hangat,
sehangat dekapan orang tuaku, ayah ibuku. Karena engkau tidaklah seharusnya
menjadi angkuh dan dingin. Sebab di sinilah tempat generasi penerus perjuangan
masa depan yang seharusnya mendapatkan dekapan hangat dan lembut darimu,
Jakarta.
cheers,
mayang alfina